Renungan Kanjuruhan
Nggak ngerti dari mana harus memulai tulisan ini. Ada banyak sekali pikiran berkecamuk, banyak sekali perasaan bercampur aduk.
Sungguhpun diri ini terus belajar dan bersahabat dengan duka sepanjang perjalanan hidup, namun peristiwa terbunuhnya 200-an orang di Kanjuruhan tetap saja menimbulkan perasaan asing yang baru. Ini tentu saja bukan sick health, ketika diri seperti punya resistensi menghadapi duka. Karena berkali-kali kematian orang-orang terdekat, ayah, suami, keponakan, bulik, budhe, sepupu, sahabat, saudara, teman yang menguras air mata dan energi, menyebabkan bagian dalam tubuh ini (entah secara fisik atau psikis) menciptakan pertahanannya sendiri agar tidak larut dalam duka yang menyebabkan sakit yang lebih perih dan parah.
Amarah kita, sebagai warga negara dan mungkin aktifis juga volunteer yang sudah mencoba berbagai cara dari berbagai arah untuk turut membantu negeri ini, seringkali mengabu pelan-pelan seiring dengan kekecewaan dan keputusasaan yang kita rasakan sebab tak ada itikad baik dari pemangku kebijakan dan pihak yang berwenang untuk memperbaiki keadaan bangsa ini.
Masya Allah, astaghfirullah, laa haula wa laa quwwata illaa billahil aliyyil adziim.
Astaghfirullahal adziim astaghfirullahal adziiim
Sembari menghela dan menghembuskan nafas panjang, akhirnya kita berada dalam ayunan antara kemarahan yang putus asa dan doa lirih untuk keselamatan bangsa ini. Berapa lagi korban yang harus berguguran untuk bisa menjewer dan menyentil serta membangkitkan kesadaran para petinggi elit yang serakah, korup, tidak amanah dan tidak memiliki lagi kasih sayang. Compassion.
Seandainya warga kita (baik supporter, aparat, penyelenggara, media penayang, dan stakeholder lain) lebih pintar, cerdas, punya inisiatif mitigasi yang canggih, contingency, dan tentu saja COMPASSION, mungkin kejadian Kanjuruhan tidak menelan korban nyawa. Wallahu a'lam bishshowab.
Sebagai seorang arsitek, sebenarnya aku juga kepikiran hal lainnya. Apakah tidak ada suatu sistem dan prosedur bagi keadaan darurat dalam stadion itu. Sehingga ketika terjadi semacam force majeure, ada mitigasi dan drill yang bisa dilakukan. Orang bisa menggempur dinding dengan mudah, seperti halnya disediakan pemukul besi di gerbong kereta api. Ataukah mungkin sebenarnya sudah ada desain perencanaan (design planning) yang demikian, namun dalam implementasinya tidak dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Wallahu a'lam bishshowab.
Astaghfirullahal adziiiiimmm....
*turut berduka untuk semua korban Kanjuruhan.